Sabtu, 30 Maret 2013

Salah Satu Karyaku yang dimuat di dalam Buku 99 Pesan Kerinduan Untuk Presiden


Teruntuk Ayahanda Presiden di Istana Khalifah.

 Aku hanya seorang ibu dari Kalimantan Timur, lebih tepatnya Samarinda. Ku awali surat ini dengan cinta dan penuh rasa hormat untukmu, ayahandaku. Dengan penuh perasaan riuh rendah yang mengalir, bergemuruh lalu menggulung-gulung dalam benak. Perasaan was-was dan kasih sayang yang begitu besar kepada bangsaku, pada keluargaku, pada orang-orang dan tanah yang sudah begitu dekat dalam hari-hari, lalu tahun-tahun yang kulalui dalam kehidupanku. Aku ingin sampaikan setitik harapan dari dasar samudra cinta seorang ibu.


Ayahandaku yang sangat kukasihi, tempat mencurahkan segala perasaan, kegelisahan dan pundak sandaran. Hati ini pilu, teramat pilu, serasa bagai ada sejuta sembilu yang mengiris-iris. Kemudian menyiraminya dengan perasan cuka jeruk lalu tertawa. Ayahanda bangsaku, anak-anak bangsa ini, termasuk juga anak-anakku sendiri, adalah pondasi bangsa. Tulang punggung yang seharusnya tegak dan kokoh berdiri menopang punggung. Punggung negaraku, dimana kelak akan digunakan bekerja keras membangun masa depan. Menahan segala goncangan, teriknya kehidupan dan dinginnya persaingan.
Mengapa hati ini kemudian terasa pedih, bahwa pada kenyataannya, ditanah yang kucium baunya setiap hari sejak bayi, tanah yang begitu kaya, ternyata masih ada cacat di rupanya. Ketika kutatap puluhan anak-anak yang masih seharusnya berada di rumahnya, menikmati belaian ibunya, namun ternyata sedang menggelarkan keringatnya dibawah terik matahari persimpangan jalan. Meminta-minta. Bahwa kemudian ada beberapa anak yang kutemui, tidak lagi bersekolah, tetapi menjadi penjaga parkir di pasar, dimana aku sering berbelanja.
Kutanyakan pada siapa, bahwa mana ibu mereka? Lalu dijawab mereka dengan lantang, “Tante hidup dengan gampang, orang tua kami hidup susah. Maka kami harus ada disini.” Bahwa kemudian ketika kutanya, “Apa kalian tidak sekolah? Biar orangtua kalian yang mencari kerja.” Lalu mereka menjawab, “Bapakku sakit, dan ibuku hanya berdagang peyek, adikku banyak, tidak ada lagi sisa tenaga untuk belajar.” Rasanya sakit, sakit sekali sebagai ibu.
Aku hanya bisa meringis dan mengunci rapat-rapat perasaan. Dimata mereka ada kegarangan, yang tidak pernah kutatap dimata anak-anakku. Dimata mereka ada kesedihan, yang jarang kulihat dalam mata anak-anakku. Dimata mereka juga ada harapan, harapan yang sama dengan anak-anakku. Mereka hanya inginkan bermain dan belajar. Seandainya saja bisa, aku ingin semua anak mendapatkan perlakuan yang sama, hak yang sama serta kenyamanan yang sama, dimana istana kekhalifahanmu ayahanda, menjadi kontrolnya. Bisakah tanah yang kaya ini, menjadi tanah untuk anak-anaknya sendiri? Dimana saja anak itu berada, tidak hanya di daerah tempatku berasal, tapi dimana saja di belahan tanah tumpah darah ini.
Semoga ayahanda sudi mendengar jeritan hatiku, hati seorang anak, juga seorang ibu. Terimakasih yang tulus dari dasar hati ini, atas rentang waktu dan kerelaan ayah mendengar ocehanku. Salam cinta selalu, dari kami, anak-anak bangsamu.
Rauhiyatul Jannah, Samarinda, 5 Nopember 2011, Seorang Ibu dari dua anak laki-laki.


Rauhiyatul Jannah, lahir di provinsi Kalimantan Selatan tepatnya di desa Karang Paci Kabupaten Hulu Sungai Selatan Kandangan pada hari Kamis 27 tahun lalu. Menyelesaikan pendidikan dasar sampai perguruan tinggi di Samarinda Kalimantan Timur. Lulusan dari Fakultas MIPA Universitas Mulawarman tahun 2006. Memiliki dua putera, Muhammad Taufik Rifqi dan Muhammad Irfan Fadlurrahman. 7 dan 4 tahun. Hobby : menonton film dan membaca karya Sastra. Aktifitas sekarang menjalani hari-hari sebagai seorang ibu dan bisnis kecil-kecilan di rumah. Sangat menyukai sains dan tekhnologi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar