Dimuat di Kaltim Post 16-12-2012
Sejuta Alasan
Pagi
masih pekat, rona jingga menggelayut di batas cakrawala. Awan-awan gelap yang
perlahan menjauh, menipis lalu menghilang di batas trophosfer bumi. Aroma rumput teki terpapar sengat mentari
menguapkan alkaloid.
Perlahan
hewan-hewan malam berganti tempat. Meninggalkan lahan yang dilaluinya sepanjang
malam untuk mengistirahatkan tubuh mereka. Cicit anak pipit, mematuk dan
berebut biji-biji berserakan. Beberapa langkah sudah terlihat beberapa manusia
tua melangkah dengan timba berisi air mengisi gentong-gentong, memangku pacul,
menggosok penggorengan atau bahkan asik berasik masyuk bersama pasangan di
pembaringan.
Di
beberapa petak dan bangunan, kesibukan diiringi teriakan-teriakan kesal wanita
yang lelah dan tertekan waktu, sibuk mengurus buah hatinya yang akan masuk
sekolah. Memasak, memandikan, mengurus baju, mengurus tas sampai menyuapi
anaknya.
Semalaman
hujan mengguyur, meluapi parit dan menggenangi kubangan. Hewan-hewan ternak
mengembik kelaparan, sapi-sapi kurus mengemo minta tuannya memberi makan,
bayi-bayi montok menggapai ibunya yang masih tertidur kelelahan setelah
semalaman tak tertidur hanya menemani bibit manusia disisinya, karena dingin
terlalu menusuk dan anak kecilnya sedang beradaptasi terhadap alam baru yang di
pijaknya.
Lelaki
tua yang sudah habis beberapa bilah geliginya dengan renta melangkah
menguat-nguatkan punggung untuk mengangkat tumpukan rerumputan. Mulut lapar
itupun menganga dan siap memamah biak sepanjang hari. Melumat dengan perlahan
dan teratur setiap batang rumput.
Berkelompok
orang bahkan sudah lebih dulu bergerak di tengah malam, para penjagal hewan
ternak yang siap menjajakan daging sembelihannya. Di gelapnya malam,
tubuh-tubuh kekar itu sudah berjalan melintasi padatnya aspal, menarik tali
kekang lalu dengan taktik jitu dalam hitungan detik bisa mengalahkan korbannya
hanya dalam sekali hentak. Mereka lah para penyembelih di pemotongan hewan,
manusia-manusia terlatih yang setiap malamnya berjibaku dengan dingin untuk
menghidupi dirinya.
Ada
ruang-ruang yang sempit dan sudah mulai hiruk pikuk, tumpukan-tumpukan kacang
panjang, bayam, kangkung kol dan berbagai dedaunan menggunung.
Teriakan-teriakan yang tidak jarang memekakkan silih berganti. Los-los kumuh
dan pengap namun selalu didatangi. Becek, lantainya becek. Beberapa ikan dan
petok ayam beradu bau.
Semakin
tinggi si pemberi energi bersarang, tempat itu semakin pekat oleh manusia.
Terkadang kumpulan aroma yang bercampur satu membaur lalu terbawa angin. Namun
para manusia belum mau beranjak dari sana. Disana mereka juga hidup.
Sedikit
jauh ke ulu sana, kamar-kamar penuh interior mewah belum pun terbuka. Disana
beberapa sosok terbaring dengan senyum dan gambaran kenyamanan di wajahnya.
Bukan
karena kelelahan sepagi ini mereka masih terlelap. Tidak ada pekikan anak atau
kambing peliharaan. Anak-anak sudah pergi tanpa menatap wajah-wajah lelap
mereka, hanya bibi yang sudah rapi dan wangi yang melambaikan tangan.
Banyak
kontrak yang harus dijalani, banyak intrik yang harus dilalui. Jendela mereka
masih rapat. Tidak ada celah untuk mengintip lebih dalam apa yang sedang
terjadi, yang jelas tidak ada suara gaduh layaknya pasar dimana aku sedang
berbelanja. Aku hanya pernah sekali menyelinap disana diantara hiruk-pikuk open
house sorang pejabat.
“Sudah
ma?” suamiku Hamdi menengok di balik pintu. Dia sudah berpakaian rapi. Suara
lembutnya membuyarkan lamunanku.
“Sebentar
ya pa. ini sudah kok. Buya sudah lelap. Aku titip mama dulu” aku meletakkan
Buya di buaiannya.
“Ma,
titip ya. ASI nya masih ada di kulkas ma. Kalau ada apa-apa telpon saja ya ma.
Bi Nah juga masih disini sampai siang ma” Aku memang sudah berjanji ingin
memberinya ASI ekslusif walaupun tetap bekerja. Mama tersenyum dan mengecup
keningku. Ah mama, aku sangat menyayangimu. Maaf ya ma merepotkanmu terus.
“Wiwin..
ayo… “ Wiwin putri sulungku berlari menghampiriku. Di peluknya neneknya erat.
“Win
berangkat ne… “ mulutnya masih penuh dengan lumpia. Mama tertawa melihat
kelakuan cucunya. Wiwin sudah bersekolah di SD favorit, biayanya pun tidak
sedikit. Suamiku ingin Wiwin mendapat yang terbaik. Dan aku yakin semua orang
tua menginginkan hal yang sama.
Beginilah
setiap harinya, rutinitasku dan keluarga kecilku. Semua terasa damai, meskipun
terkadang ada riak, namun semua patut ku syukuri.
“Mas,
kemarin aku ke pasar. Belanja cukup banyak buat seminggu” mas Hamka hanya
tersenyum.
“Lalu?”
kukisahkan padanya tentang bocah di parkiran.
Mengalirlah
setiap kata dari bibirku tentang anak itu seiring dengan putaran roda mobil
yang dikendarai mas Hamka.
Saat
itu motorku terhimpit diantara puluhan motor lainnya. Aku celingak-celinguk
bingung mencari jalan melepaskan diri. Ingin segera pulang untuk menyusui bayi
kecilku. Lalu buru-buru berangkat ke kantor menyelesaikan tumpukan pekerjaan
murid kelas 1 yang akan segera ujian.
Disana..
iya itu, lelaki itu pasti tukang parkirnya. “Mas.. mas tolong” teriakku sambil
melambaikan tangan. Kuping lelaki itu cukup tajam diantara keramaian pasar.
“ya
bu” dia menolehkan wajahnya. Muda sekali, aku keliru memanggilnya mas. Adik
atau nak lebih pantas, hanya tubuhnya saja yang kekar dan tinggi. Anak ini aku
tebak tidak lebih dari 15 tahun.
Dia
berlari ke arah motorku, lalu dengan tenaga yang luar biasa menggeser beberapa
motor di sebelah selatan. Kemudian bergeser kesebelah kiriku dan hap, selesai
sudah. Aku bisa keluar dengan mudahnya.
“ini
dik.. terimakasih ya” kuberikan selembar lima ribu perak, sambil mengangkat
tangan satu lagi tanda menolak kembalian. Aku hanya tergerak saja, tanpa maksud
lain.
“Terimakasih
tante” ujarnya polos sekali. Wajahnya terlihat begitu senang. Padahal jika
Wiwin anakku yang menerimanya, hanya sepersekian jam dia dengan mudah
menghabiskannya.
“sebetar
dik, kamu.. usiamu berapa?” tanyaku.
“14
tahun tante. Kenapa?”
“Masih
sekolah?” anak itu hanya menggeleng.
“Kenapa?”
tanyaku balik. Anak tersebut berlalu tanpa menjawab.
“Hei…
“ dia membalikkan tubuh, lalu menatapku tanpa ekspresi.
“Tante
boleh berikan sejuta alasan mengapa aku harus sekolah” ujarnya dengan amarah
yang ditahan. Ah, preman pasar batinku.
“Tidak
perlu sejuta, cukup tiga saja. Kamu akan pintar, tidak perlu kerja begini dan
kehidupanmu jauh lebih baik” jawabku singkat. Matanya memerah, tangannya pun
mengepal. Aku tahu anak ini kesal. Tapi aku simpatik padanya.
“Tante
bisa katakan itu pada orang yang punya uang tapi malas, sedang padaku itu tidak
terjadi. Aku tidak punya uang meskipun aku ingin sekali tetap sekolah. Mamaku
stroke, dan ayahku baru saja mati tertabrak. Adikku ada dua. Dan aku
dikeluarkan karena sudah enam bulan tidak bayar SPP. Dan inilah satu-satunya
baju yang masih waras yang bisa kupakai” anak itu kemudian menghilang ditelan
keramaian.
Aku
terdiam lama sekali. Membandingkan tatapannya dengan tatapan wiwin yang ceria.
Membandingkan nasibnya dengan nasib anak-anakku apalagi anak-anak yang jauh
lebih kaya. Aku menangis. “Ma.. ma.. sudah sampai” mas Hamka membuyarkan
lamunanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar