Sabtu, 30 Maret 2013

Cerpen Pilihan

Dimuat di Kaltim Post 16-12-2012

Sejuta Alasan


Pagi masih pekat, rona jingga menggelayut di batas cakrawala. Awan-awan gelap yang perlahan menjauh, menipis lalu menghilang di batas trophosfer bumi. Aroma rumput teki terpapar sengat mentari menguapkan alkaloid.
Perlahan hewan-hewan malam berganti tempat. Meninggalkan lahan yang dilaluinya sepanjang malam untuk mengistirahatkan tubuh mereka. Cicit anak pipit, mematuk dan berebut biji-biji berserakan. Beberapa langkah sudah terlihat beberapa manusia tua melangkah dengan timba berisi air mengisi gentong-gentong, memangku pacul, menggosok penggorengan atau bahkan asik berasik masyuk bersama pasangan di pembaringan.

Di beberapa petak dan bangunan, kesibukan diiringi teriakan-teriakan kesal wanita yang lelah dan tertekan waktu, sibuk mengurus buah hatinya yang akan masuk sekolah. Memasak, memandikan, mengurus baju, mengurus tas sampai menyuapi anaknya.
Semalaman hujan mengguyur, meluapi parit dan menggenangi kubangan. Hewan-hewan ternak mengembik kelaparan, sapi-sapi kurus mengemo minta tuannya memberi makan, bayi-bayi montok menggapai ibunya yang masih tertidur kelelahan setelah semalaman tak tertidur hanya menemani bibit manusia disisinya, karena dingin terlalu menusuk dan anak kecilnya sedang beradaptasi terhadap alam baru yang di pijaknya.
Lelaki tua yang sudah habis beberapa bilah geliginya dengan renta melangkah menguat-nguatkan punggung untuk mengangkat tumpukan rerumputan. Mulut lapar itupun menganga dan siap memamah biak sepanjang hari. Melumat dengan perlahan dan teratur setiap batang rumput.
Berkelompok orang bahkan sudah lebih dulu bergerak di tengah malam, para penjagal hewan ternak yang siap menjajakan daging sembelihannya. Di gelapnya malam, tubuh-tubuh kekar itu sudah berjalan melintasi padatnya aspal, menarik tali kekang lalu dengan taktik jitu dalam hitungan detik bisa mengalahkan korbannya hanya dalam sekali hentak. Mereka lah para penyembelih di pemotongan hewan, manusia-manusia terlatih yang setiap malamnya berjibaku dengan dingin untuk menghidupi dirinya.
Ada ruang-ruang yang sempit dan sudah mulai hiruk pikuk, tumpukan-tumpukan kacang panjang, bayam, kangkung kol dan berbagai dedaunan menggunung. Teriakan-teriakan yang tidak jarang memekakkan silih berganti. Los-los kumuh dan pengap namun selalu didatangi. Becek, lantainya becek. Beberapa ikan dan petok ayam beradu bau.
Semakin tinggi si pemberi energi bersarang, tempat itu semakin pekat oleh manusia. Terkadang kumpulan aroma yang bercampur satu membaur lalu terbawa angin. Namun para manusia belum mau beranjak dari sana. Disana mereka juga hidup.
Sedikit jauh ke ulu sana, kamar-kamar penuh interior mewah belum pun terbuka. Disana beberapa sosok terbaring dengan senyum dan gambaran kenyamanan di wajahnya.
Bukan karena kelelahan sepagi ini mereka masih terlelap. Tidak ada pekikan anak atau kambing peliharaan. Anak-anak sudah pergi tanpa menatap wajah-wajah lelap mereka, hanya bibi yang sudah rapi dan wangi yang melambaikan tangan.
Banyak kontrak yang harus dijalani, banyak intrik yang harus dilalui. Jendela mereka masih rapat. Tidak ada celah untuk mengintip lebih dalam apa yang sedang terjadi, yang jelas tidak ada suara gaduh layaknya pasar dimana aku sedang berbelanja. Aku hanya pernah sekali menyelinap disana diantara hiruk-pikuk open house sorang pejabat.
“Sudah ma?” suamiku Hamdi menengok di balik pintu. Dia sudah berpakaian rapi. Suara lembutnya membuyarkan lamunanku.
“Sebentar ya pa. ini sudah kok. Buya sudah lelap. Aku titip mama dulu” aku meletakkan Buya di buaiannya.
“Ma, titip ya. ASI nya masih ada di kulkas ma. Kalau ada apa-apa telpon saja ya ma. Bi Nah juga masih disini sampai siang ma” Aku memang sudah berjanji ingin memberinya ASI ekslusif walaupun tetap bekerja. Mama tersenyum dan mengecup keningku. Ah mama, aku sangat menyayangimu. Maaf ya ma merepotkanmu terus.
“Wiwin.. ayo… “ Wiwin putri sulungku berlari menghampiriku. Di peluknya neneknya erat.
“Win berangkat ne… “ mulutnya masih penuh dengan lumpia. Mama tertawa melihat kelakuan cucunya. Wiwin sudah bersekolah di SD favorit, biayanya pun tidak sedikit. Suamiku ingin Wiwin mendapat yang terbaik. Dan aku yakin semua orang tua menginginkan hal yang sama.
Beginilah setiap harinya, rutinitasku dan keluarga kecilku. Semua terasa damai, meskipun terkadang ada riak, namun semua patut ku syukuri.
“Mas, kemarin aku ke pasar. Belanja cukup banyak buat seminggu” mas Hamka hanya tersenyum.
“Lalu?” kukisahkan padanya tentang bocah di parkiran.
Mengalirlah setiap kata dari bibirku tentang anak itu seiring dengan putaran roda mobil yang dikendarai mas Hamka.
Saat itu motorku terhimpit diantara puluhan motor lainnya. Aku celingak-celinguk bingung mencari jalan melepaskan diri. Ingin segera pulang untuk menyusui bayi kecilku. Lalu buru-buru berangkat ke kantor menyelesaikan tumpukan pekerjaan murid kelas 1 yang akan segera ujian.
Disana.. iya itu, lelaki itu pasti tukang parkirnya. “Mas.. mas tolong” teriakku sambil melambaikan tangan. Kuping lelaki itu cukup tajam diantara keramaian pasar.
“ya bu” dia menolehkan wajahnya. Muda sekali, aku keliru memanggilnya mas. Adik atau nak lebih pantas, hanya tubuhnya saja yang kekar dan tinggi. Anak ini aku tebak tidak lebih dari 15 tahun.
Dia berlari ke arah motorku, lalu dengan tenaga yang luar biasa menggeser beberapa motor di sebelah selatan. Kemudian bergeser kesebelah kiriku dan hap, selesai sudah. Aku bisa keluar dengan mudahnya.
“ini dik.. terimakasih ya” kuberikan selembar lima ribu perak, sambil mengangkat tangan satu lagi tanda menolak kembalian. Aku hanya tergerak saja, tanpa maksud lain.
“Terimakasih tante” ujarnya polos sekali. Wajahnya terlihat begitu senang. Padahal jika Wiwin anakku yang menerimanya, hanya sepersekian jam dia dengan mudah menghabiskannya.
“sebetar dik, kamu.. usiamu berapa?” tanyaku.
“14 tahun tante. Kenapa?”
“Masih sekolah?” anak itu hanya menggeleng.
“Kenapa?” tanyaku balik. Anak tersebut berlalu tanpa menjawab.
“Hei… “ dia membalikkan tubuh, lalu menatapku tanpa ekspresi.
“Tante boleh berikan sejuta alasan mengapa aku harus sekolah” ujarnya dengan amarah yang ditahan. Ah, preman pasar batinku.
“Tidak perlu sejuta, cukup tiga saja. Kamu akan pintar, tidak perlu kerja begini dan kehidupanmu jauh lebih baik” jawabku singkat. Matanya memerah, tangannya pun mengepal. Aku tahu anak ini kesal. Tapi aku simpatik padanya.
“Tante bisa katakan itu pada orang yang punya uang tapi malas, sedang padaku itu tidak terjadi. Aku tidak punya uang meskipun aku ingin sekali tetap sekolah. Mamaku stroke, dan ayahku baru saja mati tertabrak. Adikku ada dua. Dan aku dikeluarkan karena sudah enam bulan tidak bayar SPP. Dan inilah satu-satunya baju yang masih waras yang bisa kupakai” anak itu kemudian menghilang ditelan keramaian.
Aku terdiam lama sekali. Membandingkan tatapannya dengan tatapan wiwin yang ceria. Membandingkan nasibnya dengan nasib anak-anakku apalagi anak-anak yang jauh lebih kaya. Aku menangis. “Ma.. ma.. sudah sampai” mas Hamka membuyarkan lamunanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar