Mantra sakti, Man Jadda Wajadda...
Pertama aku tahu mantra ini dari sebuah buku, Negeri Lima Menara. Sebuah novel religi berlatarkan pesatren Darussalam Gontor Ponorogo Jatim. Mengapa aku tertarik dengan mantra ini?
Pertama karena novel tersebut. Cerita yang hidup dan membangkitkan mimpi. Tidak hanya sebatas mimpi untuk dua anakku. Namun lebih jauh adalah mimpi ketika aku masih dalam usia sekolah. Pesantren adalah mimpiku. Cukup aneh untuk mimpi seorang anak yang biasanya menyukai kebebasan. Jauh dari pola didik pesantren yang kental aturan syariat. Tapi aku mencintai pesantren.
Bahkan saking cintanya, aku mentasbihkan seorang lelaki jebolan pesantren sebagai tambatan hati. Alasannya karena dia jebolan pesantren. Aneh bukan? ya, meskipun hubungannya tidak berakhir baik. Tapi setidaknya satu hal yang bisa disimpulkan. Aku menginginkan pesantren dekat denganku.
Hal kedua mengapa man jadda wa jadda jadi menarik perhatianku, karena mantra itu yang membuatku bertahan. Meskipun dulu aku belum tahu kata-kata tersebut.
Mengapa demikian? di usia yang belia aku sudah menikah, hasil dari perjodohan. Kemudian mengandung dan melahirkan, yang jadi persoalan adalah, aku juga seorang mahasiswi. Bukan hal mudah, tapi juga bukan hal sulit. Karena beberapa perempuan pun melakoni hal yang sama. Yang menjadi penyulit adalah dana.
Abahku tidak bisa memberi bantuan apapun untuk mimpiku menjadi sarjana. apalagi aku juga bukan tanggungannya lagi. Selain itu penghasilan suamiku juga tidak besar. si kecil juga anak yang montok dan kuat sekali susu formulanya. (kesalahan informasi pasca melahirkan, alhasil baby jadi kecanduan sufor)
Terlebih lagi kondisi keluarga yang sangat tidak mendukungku. Ibu cuma perempuan desa yang tidak tamat sekolah. Dalam pikiran ibu, sekolah menjadi tidak penting. Kesibukanku bersama kampus menyita waktu. aku tidak akan percaya orang lain untuk menitipkan anak, selain ibu. Namun gesekan terhadap lingkungan keluargaku juga tidak jarang terjadi. Aku tidak ingin ibu tahu kondisi keuanganku, tapi juga tidak ingin melepas semua mimpiku.
Sempat berada di titik nadir dalam kebosanan terhadap konflik batin. Waktu membuat aku bisa keluar dari tekanan. Dan satu hal yang membuatku bertahan hingga tetap bisa menjadi sarjana. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu. dan sungguh-sungguh adalah senjataku.
Mantra ini selalu kutanamkan pada anak-anakku. Kuharapkan juga dimiliki adik-adikku yang baru mulai belajar pada kehidupan. Allah pasti melihat usaha dari manusia, dan Dia tidak akan memberi kondisi pada makhlukNya di luar kesanggupan hambaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar