Sabtu, 24 Desember 2011

Yang Kurindu, Samarinda ku

Kemaren jum'at hujan deras banget, dari jam 3 malam sampai pagi terang. Suamiku tetap melanjutkan aktifitas ke kantor seperti biasa. 

Teet... Sms masuk... "banjir lho...". Untungnya "si do'i" pake sandal (ngantor pake sandal, biarin aja. Dari pada kebasahan, trus pulang-pulang garuk-garuk kaki kegatelan karena air bah yang kotor).

Ah sudah pasti banjir.. jangankan hujan lama seperti kemaren. Sebentar saja hujan mengguyur genangan air sudah ada dimana-mana, di beberapa ruas jalan Samarinda.

Buka facebook, stat teman dimana-mana banjir. Ngunjungi beberapa koran online, beritanya juga sama. Banjir. 



Itu sih belum seberapa ketimbang di jalan Lambung  Mangkurat. Motor bisa tenggelam. Selain itu jalannya juga terdapat beberapa lubang. Aku pernah berpapasan dengan seorang ibu yang terjerembab. Saat itu banjir dan kami nekat menerobos karena ingin ke rumah mama di jalan Lambung Mangkurat. Ibu tersebut terjatuh karena lubang yang tidak terlihat di saat banjir.

Kadang kalau hujan lama, ada takut tebersit. Jadi keingatan waktu masih duduk di kelas 1 SMP. Banjir besar melanda Samarinda di tahun 1998. Sampai-sampai aku sekeluarga harus mengungsi dari jalan Lambung Mangkurat yang sudah terendam sampai sepinggang orang dewasa. 

Kondisi yang lebih parah dialami adik abah yang tinggal persis bersisian dengan bandara Temindung. Karena air bah terkurung dinding lapangan terbang, tinggi air mendekati atap lemari. Beliau terpaksa dijemput abah untuk mengungsi menggunakan perahu karet. Pengalaman seru, tegang dan sekaligus lucu. Ada satu cerita abah, yang bikin ngakak. (tapi maaf ya blogger, agak jorok)

Jadi waktu itu, setelah kami mengungsi, abah kembali ke rumah untuk melihat-lihat situasi. Karena tingginya air, abah sudah tidak bisa menuju kloset (TPA).  Sementara hajat sudah tidak bisa ditunda. Abah ambil jalan pintas menuju ke tanah kosong di dapur yang berbatasan dengan Mts. Sulaiman Yasin. Dan.... Jadinya dilepaslah hajat disana, ditengah-tengah kubangan air yang menggenang hingga ke pinggang. (iiiiiih jorok benget ya abah :P,,, terpaksa, mau bagaimana lagi. Untungnya kita sudah diungsikan).

Sayangnya waktu itu saking kere nya, aku tidak punya fasilitas untuk mengabadikan momen yang kami lewati. 
Tapi eit, tunggu dulu. Pas buka-buka komputer, ada beberapa foto Samarinda tempo dulu dari file suami. Foto-foto kenangan banjir tahun 1998.
lokasi : Simpang empat Basuki Rahmat
 Lokasi : Jalan Imam Bonjol
 Lokasi : Jalan Ahmad Dahlan (Depan SMP 2)

Sepertinya banjir jadi ikon Samarinda selain pesut yang hampir punah ya? ^_^
Kalau memperhatikan usaha pemerintah untuk semenisasi beberapa ruas jalan cukup menggembirakan. Tapi bukan untuk solusi banjir. Semenisasi hanya pelipur lara di kala banjir menerjang. Paling tidak penduduk Samarinda, khususnyapara pengguna jalan tidak harus terjerembab di saat banjir karena jalan yang berlubang. 

Solusi lebih rasional kepada perbaikan drainase dan pemeliharaan lahan resapan air. Di beberapa ruas jalan, parit-parit hampir rata dengan jalan. Akhirnya Air menggenang. Kalau hujan datang, bukan cuma air yang mengguyur. Tapi disertai pula dengan banjir lumpur. Jauh lebih parah dari banjir beberapa tahun yang lalu. Sampai kapan sih mau banjir terus? 

Lepas dari itu semua, aku tetap cinta Samarinda. Aku pernah mencoba untuk hijrah ke kota lain beberapa tahun lalu. Tapi tetap saja kembali lagi ke Samarinda. Sekali minum air Mahakam pasti balik lagi. (Alasan aja, padahal kehabisan uang di tanah orang... hehehe....^_^)

Sepupuku sendiri yang kini menetap di Malaysia juga menyatakan kerinduannya yang teramat pada Samarinda. Aku tanya mengapa? 
"Kangen pasar Ramadhan dan jajanan pasarnya" katanya.

Ada cucur, keraban, amparan tatak, lupis, bingka... (ngelap liur yang netes.. :P"")

Satu lagi nih yang lagi nikmat-nikmatnya (karena murah dan enak, trus bisa dimakan dari kulit sampai bijinya...^_^ ..)

 Ini sanggar tiwadak namanya
Kalo yang ini kulit buahnya yang sudah dibersihkan. namanya "Mandai"

 Ini nih bahan dasarnya " tiwadak/Cempedak"

(Foto-foto diambil dari mesin pencari google)

Begitulah Samarinda warna dan dinamikanya. Apapun yang terjadi aku tetap cinta Samarinda. Samarinda yang unik dan berwarna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar