Rabu, 10 April 2013

Serpihan Cinta di Bawah Dahan Kamboja

Seandainya saja takdir memihakku.... Mungkin aku masih bisa meminta maaf padanya. Mengapa, desir halus menjalari relung hatiku kini, setelah kami tidak mungkin lagi bersatu.


****

Lelaki itu menatapku dengan tatapan penuh cinta. Perhatiannya terlalu berlebihan untukku. Tapi aku menyukainya. Aku memanfaatkannya.

Dia bukan lelaki pilihanku. Tampangnya yang aneh dengan kulit cokelat dan hidung tipis. Rambutnya ikal dan ditata bergaya tahun 80-an. Perawakannya yang agak kurus, apalagi gayanya yang lebih mirip bapakku, bukan lah impianku terhadap lelaki. Dia sama sekali tidak ganteng, tidak kaya, tidak populer di kampus dan tidak kuinginkan. 

Sementara aku, aku adalah gadis populer, cantik, kaya dan digilai banyak lelaki. Sayangnya otakku tidak seencer Gilang, sehingga aku begitu tergantung pada kepintarannya.

Seringkali aku menyakiti hatinya. Kugandeng lelaki lain di depan matanya. Tidak kuacuhkan permintaannya untuk bertamu ke rumah. Bahkan aku bersikap memusuhinya. Tetapi jika aku membutuhkan bantuannya, aku selalu datang padanya. 

Tidak hanya ketika aku butuh bantuan untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Juga ketika hatiku luka karena pacar-pacarku yang edan. Bahunya begitu lebar untukku bersandar.

****
"Tari... boleh kuantar pulang?" Mata Gilang menatapku penuh harap. Aku berpikir sebentar. 

Apa salahnya kalau hanya mengantar pulang. Gilang bukan lelaki nakal yang akan mengapa-apakanku di jalan. Tapi, apa kata teman-temanku, kalau melihat si cupu mengantarku?

"Tari?" Gilang mengulangi kata-katanya. 
"Oh.. eh, iya" Entah kenapa, kuiyakan permintaannya. Mungkin karena perasaan tidak enak, karena selalu menolak tawarannya. Padahal, aku seringkali memanfaatkan bantuannya untuk mengajariku aljabar linier.

Sepanjang perjalanan, Gilang hanya diam membisu. Matanya fokus pada setir dan arah jalan. Aku merasa kaku.

"Gilang, kamu nggak ada kuliah?" kubuka pembicaraan.
"Ada sih, tapi masih satu jam lagi" sahutnya. Kulihat keringat mengucur di pelipisnya.
"Kamu pendiam ya Gilang? padahal kalau lagi kerja kelompok, kamu jago banget menjelaskan"ujarku. Gilang sedikit gugup.

"Tari, aku... aku... aku ingin memintamu menjadi isteriku" ujar Gilang terbata-bata.
"Hah... apa? isteri?" aku berteriak. Jelas saja mobil yang kecil menjadi penuh suaraku. Gilang nampak pucat.
"Maaf kalau aku lancang... tapi aku memang berniat baik Tari. Aku sempat bertamu ke rumahmu diam-diam. Aku bicara pada ayahmu. Dan bapak menyuruhku meminta langsung padamu"

Ubun-ubunku memanas. Aku kesal bukan main. kupukuli wajahnya. 
"Kurang ajar!" teriakku.

Sejak saat itu aku menjauhi Gilang. Tapi aku tidak tahu mengapa, aku jadi merindukan perhatiannya.

Hari itu, terakhir kali aku menatap mata elang milik Gilang. Gilang melanjutkan pendidikan S2 ke Jakarta.

Aku sedikit lega. Mungkin dengan jarak yang cukup jauh, bisa membuat hatiku dan hati Gilang jauh lebih tenang. 

Ternyata aku keliru. Setiap minggu, aku menantikan kabar tentang Gilang. Widya lah yang selalu memberikan kabar tentang Gilang. Dia adalah sepupu Gilang.

Mungkin jika bercermin, bisa dilihat wajahku bersemu merah, ketika Widya bilang Gilang menanyakan kabarku. 

Sejujurnya, aku jadi menunggu Gilang menelponku kemudian datang padaku seperti dulu. Tetapi itu tidak pernah terjadi. Mungkin Gilang tidak ingin melihatku berteriak histeris lagi karena menolaknya.

Hari ini, semua terjawab sudah. Penantian panjangku berujung di bawah dahan kamboja. 

Gilang mengalami kecelakaan sepulang acara kampusnya. Bahu dan kaki kanannya patah karena tertimpa badan mobil yang menabrak sepeda motornya. Sementara kepalanya mengalami pembekuan darah. 

Aku sempat menjenguknya. Namun tuhan tidak pernah mengijinkanku menyentuh tangan Gilang untuk meminta maaf. Satu bulan berselang setelah kecelakaan, Gilang meninggal dunia.

Hingga ajal menjemput Gilang, dia tidak pernah mengenaliku. Pembekuan darah di otaknya, membuat sebagian memorinya hilang.      

Sungguh aku menyesal.... Seandainya waktu bisa diputar kembali, aku ingin meminta maaf atas kekejamanku pada Gilang.

Inilah hukumanku, aku jatuh cinta pada Gilang setelah kepergiannya. 


 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar